semoga bermanfaat untuk pembaca...
selamat membaca !
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi
Di antara kaidah yang diterapkan
ulama adalah, bahwa "merebaknya suatu perbuatan tidak menunjukkan atas
kebolehannya, sebagaimana tersembunyinya suatu perbuatan tidak menunjukkan atas
dilarangnya."[1]
Ibnu Muflih dalam Al-Adab Asy-Syar'iyyah (I/163) berkata, "Seyogyanya diketahui bahwa hal yang dilakukan banyak manusia adalah bertentangan dengan ketentuan syar'i dan hal tersebut masyhur di antara mereka dan banyak manusia yang melakukannya. Yang wajib bagi orang yang arif adalah tidak mengikuti mereka, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan janganlah dia terpengaruh oleh hal tersebut setelah tersebar jika dalam kesendirian dan sedikitnya kawan.
Jika kita telah mengetahui hal
tersebut maka tampak kebatilan argumen yang dibuat orang banyak yang jatuh ke
dalam sebagian bid'ah dan hal-hal yang baru, "Bahwa mayoritas manusia
melakukan ini," atau alasan-alasan lain yang batil dan penakwilan-penakwil
an yang tumpul.
Syaikh Muhyiddin An-Nawawi berkata,
"Janganlah manusia terpedaya oleh banyaknya orang yang melakukan sesuatu
yang dilarang melakukannya, yaitu kepadanya oleh orang yang tidak menjaga
adab-adab ini. Laksanakanlah apa yang dikatakan Fudhail bin 'Iyadh, 'Janganlah
kamu menganggap buruk jalan-jalan kebaikan karena sedikitnya orang yang
melakukannya, dan janganlah kamu terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang
binasa'." [2]
Abu Wafa' bin 'Uqail dalam Al-Funun
berkata, "Barangsiapa yang keyakinannya lahir dari bukti-bukti dalil, maka
akan hilang pada diri sikap ikut arus dan terpengaruh oleh perubahan kondisi
orang banyak.
Firman-Nya, "Apakah jika dia
wafat atau terbunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?" [Ali 'Imran :
144]
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu
'anhu adalah orang yang kokoh pendiriannya dalam berbagai keadaan, berbeda-beda
berbagai kondisi tidak menjadikannya goyah ketika kaki-kaki jatuh
tergelincir."
Sampai dia berkata, "Dan
terkadang seseorang Muslim sampai dipersempit kehidupannya. Dan sesungguhnya
agama kami berlandaskan pada mengambil dunia dan kebaikan akhirat, maka siapa
yang mencari kehidupan dunia dengan cara meninggalkan kebaikan akhirat maka dia
salah jalan."
Jika kita telah mengetahui hal
tersebut maka tampak kebatilan argumen yang dibuat orang banyak yang jatuh ke
dalam sebagian bid'ah dan hal-hal yang baru, "Bahwa mayoritas manusia
melakukan ini," atau alasan-alasan lain yang batil dan penakwilan-penakwil
an yang tumpul.
Dalam buku saya "Dzam
Al-Katsrat wal Mutakatstsirin" terdapat banyak keterangan dari ayat
Al-Qur'an dan hadits yang mengecam orang yang terpedaya dengan paham mayoritas
dan bangga dengan memperbanyak amal.
Al-'Allamah Ibnul Qayyim dalam
"Ighatsah Al-Lahfan min Masyahid Asy-Syaithan" (hal. 132-135 -Mawarid
Al-Aman) berkata.
"Orang yang cermat pandangannya
dan benar imannya tidak akan merasa gelisah karena sedikitnya kawan dan bahkan
dari tiadanya kawan jika hatinya telah merasa berteman dengan generasi pertama
dari orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang
yang membenarkan, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh, dan
mereka itulah sebaik-baik teman. Maka kesendirian seseorang dalam pencariannya
sebagai bukti kesungguhan dia dalam mencari kebenaran.
Ishaq bin Rahawaih pernah ditanya
tentang suatu masalah, lalu dia menjawab. Maka dikatakan kepadanya,
"Sesungguhnya saudaramu Ahmad bin Hanbal mengatakan masalah ini seperti
itu." Maka dia menjawab, "Saya tidak menyangka bahwa seseorang
sepakat denganku dalam masalah ini."
Dia tidak merasa kesepian setelah
tampak kebenaran baginya meskipun tidak ada yang sependapat dengannya.
Sesungguhnya kebenaran jika telah tampak dengan jelas, maka tidak membutuhkan
saksi yang mendukungnya. Sebab hati melihat kebenaran sebagaimana mata melihat
matahari. Maka, jika seseorang telah melihat matahari, dan berdasarkan keilmuan
dan keyakinannya bahwa matahari telah terbit, maka dia tidak membutuhkan saksi
untuk itu dan tidak membutuhkan orang untuk menyetujui atas apa yang
dilihatnya.
Betapa bagusnya apa yang dikatakan
Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma'il yang terkenal dengan Abu Syamah [3] dalam
kitabnya tentang hal-hal baru dan bentuk-bentuk bid'ah [4], terdapat perintah
memegang teguh jama'ah. Maka yang dimaksud denganya adalah, memegang teguh
kebenaran dan mengikutinya, meskipun orang yang berpegang teguh kepadanya
sedikit, sedangkan orang yang melanggarnya banyak. Sebab kebenaran adalah
sesuatu yang dilakukan oleh jama'ah pertama pada masa Nabi shalallahu 'alaihi
wasallam dan shahabatnya, dan tidak diukur oleh banyaknya orang yang mengikuti
bid'ah mereka.
'Amr bin Maimun Al-Audi berkata,
"Saya telah menyertai Mu'adz di Yaman, dan saya tidak berpisah dengannya
hingga saya menguburkannya di Syam. Kemudian setelah itu, saya selalu menyertai
orang terpandai dalam ilmu fiqh, Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu, maka
saya mendengar dia berkata, "'Hendaklah kalian memegang teguh jama'ah.
Sebab tangan Allah di atas jama'ah.' Pada suatu hari saya mendengar dia
berkata, 'Akan memimpin kalian para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari
waktunya, maka shalatlah kalian tepat pada waktunya, sebab demikian itu adalah
yang wajib, dan shalatlah kalian bersama mereka karena shalat itu bagi kalian
adalah tambahan (sunnah).' Saya berkata, 'Wahai shahabat Muhammad! Aku tidak
mengerti apa yang kamu bicarakan kepada kami?' Ia berkata, "Apakah itu?'
Saya berkata, 'Engkau memerintahkan aku berjama'ah dan menghimbauku kepadanya
kemudian kamu berkata, 'Shalatlah kamu sendirian, dan demikian itu adalah yang
wajib, dan shalatlah kalian bersama jama'ah, dan dia sunnah?' Ia berkata,
'Wahai 'Amr bin Maimun. Saya mengira kamu orang yang terpandai tentang fiqh
dari penduduk negeri ini. Kamu mengerti, apa jama'ah itu?' Saya berkata,
'Tidak.' Ia berkata, 'Sesungguhnya mayoritas masyarakat adalah orang-orang yang
berpaling dari jama'ah. Jama'ah adalah sesuatu yang sesuai kebenaran, meskipun
kamu hanya sendirian'." [Diriwayatkan oleh Al-Lalikai dalam As-Sunnah
nomor 160, dan lihat buku saya Ad-Da'wah Ilallah 89-95 pasal Al-Jama'ah
Musthalah wa Bayan.]
Dalam riwayat lain disebutkan,
"Maka dia memukul pahaku dan berkata, 'Celakalah kamu! Sesungguhnya
mayoritas manusia berpaling dari jama'ah. Sesungguhnya jama'ah adalah apa yang
sesuai dengan keta'atan kepada Allah 'Azza wa Jalla'."
Nu'aim bin Hammad berkata,
"Yakni, jika jama'ah telah rusak, maka kamu harus memegang teguh apa yang
telah dilakukan jama'ah ketika sebelum rusak, meskipun kamu sendirian, maka
sesungguhnya ketika itu kamu adalah jama'ah."
Hasan Al-Bashri berkata, 'Sunnah itu
-demi Dzat yang tiada Tuhan selain Dia- di antara orang yang berlebih-lebihan
dan orang yang meremehkan. Maka bersabarlah kalian di atasnya, semoga Allah
merahmati kalian. Sebab Ahlus Sunnah adalah minoritas di antara manusia pada
masa lalu dan mereka juga manusia minoritas pada masa sesudahnya. Yaitu
orang-orang yang tidak pergi bersama orang-orang yang bermewah-mewahan dalam
kemewahan mereka, dan juga tidak besama orang-orang yang mengikuti bid'ah dalam
kebid'ahan mereka, dan mereka sabar atas Sunnah hingga bertemu dengan Tuhan
mereka. Maka dalam keadaan demikianlah kalian harus berada, insya Allah.'
Muhammad bin Aslam Ath-Thusi [5],
seorang imam yang disepakati keimamannya adalah orang yang paling mengikuti
sunnah pada masanya, hingga dia berkata, "Tidak sampai kepadaku Sunnah
dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam melainkan saya mengamalkannya. Dan
sungguh saya ingin thawaf di Ka'bah dengan naik unta, namun tidak memungkinkan
bagi saya untuk melakukannya. Hingga sebagai ulama pada msanya ditanya tentang
As-Sawad Al-'Azham yang disebutkan dalam hadits.
"Jika manusia berselisih maka
hendaklah kalian memegang teguh As-Sawad
Al-'Azham." [HR. Ibnu Majah 2950, Ibnu Abi 'Ashim 84 dan Al-Lalikai 153 dari Anas, dan sanadnya sangat dha'if. Sebab di dalamnya terdapat Abu Khalaf al-
Makfuf yang nama aslinya Hazim bin 'Atha'. Ia ditinggalkan sekelompok ulama dan dinyatakan pendusta oleh Ibnu Ma'in.]
Al-'Azham." [HR. Ibnu Majah 2950, Ibnu Abi 'Ashim 84 dan Al-Lalikai 153 dari Anas, dan sanadnya sangat dha'if. Sebab di dalamnya terdapat Abu Khalaf al-
Makfuf yang nama aslinya Hazim bin 'Atha'. Ia ditinggalkan sekelompok ulama dan dinyatakan pendusta oleh Ibnu Ma'in.]
Maka dia berkata, "Muhammad bin
Aslam Ath-Thusi adalah As-Sawad Al-'Azham." [Hilyah Al-Auliya IX/238-239
dan darinya Adz-Dzahabi meriwayatkannya dalam Siyar An-Nubala' XII/196]
Benar, demi Allah, bahwa di satu
masa bila di dalamnya terdapat orang yang mengerti Sunnah dan menda'wahkannya,
maka dia adalah hujjah, ijma', jama'ah, dan jalan orang-orang Mukmin,
barangsiapa memisahkandiri darinya dan mengikuti yang lainnya, maka Allah akan
memalingkan dia kepada apa yang dia berpaling dan Allah akan memasukkan dia ke
Jahannam, seburuk-buruknya tempat kembali." [Sebagaimana diisyaratkan
dalam surat An-Nisa' :115]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata
[Ighatsah Al-Lahfan:271- 273],
"Barangsiapa yang mempunyai
pengalaman tentang ajaran yang Allah mengutus Rasul-Nya dengannya dan apa yang
dilakukan orang-orang musyrik dan Ahli Bid'ah pada hari ini, niscaya dia akan
mengetahui bahwa antara salaf dan mereka yang meninggalkannya terdapat jarak
yang jauh lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat, dan bahwa mereka
pada sesuatu, sedangkan salaf pada sesuatu yang lain, seperti dikatakan.
"Ia berjalan ke timur dan kamu
berjalan ke barat
Betapa jauhnya antara timur dan barat.'
Betapa jauhnya antara timur dan barat.'
Dan perkaranya -demi Allah- lebih
besar dari apa yang telah kami sebutkan.
Sesungguhnya Imam Bukhari dalam
Ash-Shahih [II/115] menyebutkan riwayat dari Ummu Darda' radhiallahu 'anha, ia
berkata, "Abu Darda' mendatangi saya dengan marah, maka saya berkata
kepadanya, ' Ada apa?' Ia berkata, "Demi Allah, saya tidak mengetahui pada
mereka sesuatu pun dari perkara Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam kecuali
mereka semua mengerjakan shalat."
Imam Bukhari [6] juga menyebutkan
bahwa Az-Zuhri berkata, "Saya mendatangi Anas bin Malik di Damaskus dan
dia sedang menangis. Maka saya berkata kepadanya, "Apa yang menyebabkan
anda menangis?" Ia berkata, "Saya tidak mengetahui sesuatu tentang
apa yang saya dapatkan kecuali shalat ini, dan shalat ini pun telah
disia-siakan."
"Ini adalah fitnah terbesar
yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu, "Bagaimana jika
kalian telah diliputi fitnah di mana orang menjadi tua dan anak keci tumbuh
berkembang di dalamnya, dia berjalan pada manusia dan mereka menjadikannya
sebagai sunnah, ketika hal itu diubah, dikatakan, "Sunnah telah
diubah?" atau, "Ini adalah kemungkaran." [HR. Ad-Darimi I/64 dan
Al-Hakim IV/514 dan lihat takhrijnya dalam buku saya Arba'i Asy-Syakhsyiyyah
Al-Islamiyyah no. 40.]
"Ini adalah salah satu dalil
bahwa amal jika tidak sesuai Sunnah, maka tidak ada nilainya dan tidak boleh
diperhatikan. Juga sebagai bukti bahwa amal tersebut telah berjalan pada arah
yang berbeda dengan arah Sunnah sejak masa Abu Darda' dan Anas."[7]
Abul Abbas Ahmad bin Yahya [8]
berkata, "Muhammad bin Ubaid bin Maimun bercerita kepadaku dari Abdullah
bin Ishaq Al-Ja'fari, ia berkata, "Abdullah bin Hassan banyak duduk
bersama Rabi'ah. Ia berkata, 'Lalu pada suatu hari mereka menyebut tentang
berbagai sunnah, maka seseorang yang ada di majelis itu berkata, 'Apa yang
dilakukan oleh manusia tidak seperti ini!' Maka Abdullah berkata, 'Bagaimana
pendapatmu jika banyak orang bodoh berlaku sebagai para hakim, apakah mereka
menjadi hujjah atas As-Sunnah?' Maka Rabi'ah berkata, "Saya bersaksi bahwa
ini adalah ucapan anak-anak para Nabi." [Al-Ba'its 'ala A'lam Inkar
Al-Bida' wal Hawadits hal. 51 oleh Abu Syamah.]
Maka, seorang Muslim yang sejati
adalah orang yang tidak terkontaminasi oleh maraknya bentuk-bentuk bid'ah dalam
memahami bentuk-bentuk sunnah. Sebab hal-hal yang telah mentradisi sebagaimana
dia itu membangun beberapa pokok, dia juga menghancurkan beberapa pokok, dan
dia sangat mendominasi. Maka, melepaskan dari cengkramannya membutuhkan latihan
jiwa dan memaksakan diri dalam melaksanakan segala bentuk sunnah. [Lihat
Marwiyyat Du'a Khatmi Al-Qur'an hal. 75 oleh Syaikh Bakar bin Abu Zaid]
Betapa indahnya riwayat yang
disebutkan Al-Imam Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Syaraf Ashhab Al-Hadits (hal.
7) dengan sanad shahih dari Al-Auza'i rahimahullah,
"Hendaklah kamu berpegang
dengan riwayat-riwayat dari salaf, meskipun manusia menolak kamu, dan
hindarilah olehmu pendapat-pendapat manusia, meskipun mereka menghiasinya
kepadamu dengan perkataan yang manis."
Dan Allah adalah yang memberikan
petunjuk kepada jalan kebenaran.
[Dislain dari kitab Ilmu Ushul
Al-Fiqh Al-Bida' Dirasah Taklimiyah Muhimah Fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, edisi
Indonesia Membedah Akar Bid'ah, Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Kautsar, Oktober 2000,
hal. 168-173]
_________
FooteNote
[1]. Al-Hawadits wal Bida':71 dan lihat Marwiyyat Du'a Khatmi Al-Qur'an:66
oleh Syaikh Bakar bin Abu Zaid, maka di dalamnya terdapat tambahan
penjelasan
[2]. Tasyabbuh Al-Khasisi (hal. 33 dengan tahqiq saya) oleh Adz-Dzahabi.
[3].Abu Syamah wafat pada tahun 655 h. Lihat biografinya dalam Tadzkirah Al-Huffadz IV/1460
[4]. Yaitu dalam kitabnya Al-Baits 'ala Inkar Al-Bida' wal Hawadits 19-20, dan Ibnu Abil 'Izz Al-Hanafi menukil darinya dalam Syarah Ath-Thahawiyah 362
[5]. Wafat tahun 242 H. Lihat biografinya dalam Siyar An-Nubala' XII/195
[6]. Nomor 530 dan lihat An-Nukat Azh-Zhirat I/385
[7]. Ini adalah perkataan yang benar, wajib dicatat dengan tinta emas!
[8]. Dia adalah Imam Tsa'labi yang masyhur (wafat 291 H). Lihat biografinya dalam Siyar An-Nubala' XIV/5 oleh Adz-Dzahabi]
hal. 168-173]
_________
FooteNote
[1]. Al-Hawadits wal Bida':71 dan lihat Marwiyyat Du'a Khatmi Al-Qur'an:66
oleh Syaikh Bakar bin Abu Zaid, maka di dalamnya terdapat tambahan
penjelasan
[2]. Tasyabbuh Al-Khasisi (hal. 33 dengan tahqiq saya) oleh Adz-Dzahabi.
[3].Abu Syamah wafat pada tahun 655 h. Lihat biografinya dalam Tadzkirah Al-Huffadz IV/1460
[4]. Yaitu dalam kitabnya Al-Baits 'ala Inkar Al-Bida' wal Hawadits 19-20, dan Ibnu Abil 'Izz Al-Hanafi menukil darinya dalam Syarah Ath-Thahawiyah 362
[5]. Wafat tahun 242 H. Lihat biografinya dalam Siyar An-Nubala' XII/195
[6]. Nomor 530 dan lihat An-Nukat Azh-Zhirat I/385
[7]. Ini adalah perkataan yang benar, wajib dicatat dengan tinta emas!
[8]. Dia adalah Imam Tsa'labi yang masyhur (wafat 291 H). Lihat biografinya dalam Siyar An-Nubala' XIV/5 oleh Adz-Dzahabi]
sumber : (www.almanhaj.or.id)
1 komentar:
Ukhti,,,, Ada sesuatu untukmu yg harus ku baca :)
Terima Kasih telah mengingatkanku :)
Posting Komentar