Kali ini admin memposting salah satu materi perdana... materi yang akan selalu diulng-ulang oleh para penuntut ilmu syar'i...
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
وَمَا
اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ
وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ
فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Tidaklah suatu kaum berkumpul di
satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali
turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat
mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada
didekatnya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak
mengangkatnya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu
Hurairah oleh :
• Muslim, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala
Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An
Nawawi).
• Abu Daud dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.
• Ibnu Majah dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala
Thalabul Ilmi nomor 225.
BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS
Abu Hurairah. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Nama lengkapnya Abdurrahman bin Shahr [1] Diberi gelar Abu
Hurairah karena beliau menyukai seekor kucing yang dimilikinya. Meskipun baru
masuk Islam pada tahun ke tujuh hijriah, akan tetapi keilmuannya diakui oleh
banyak sahabat.
Selama tiga atau empat tahun bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
betul-betul dimanfaatkan oleh beliau Radhiyallahu 'anhu. Senantiasa bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat banyak para shahabat sibuk
di pasar atau di tempat yang lain.
Lelaki yang berperangai lembut dengan kulit putih serta jenggot agak kemerahan
ini, sangat gigih menggali ilmu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tanpa memperdulikan rasa lapar yang di alaminya. Sehingga tidaklah mengherankan
apabila beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang di riwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim secara bersama sebanyak 326 hadits. Sedangkan yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari tanpa Imam Muslim sebanyak 93 hadits dan
diriwayatkan oleh Imam Muslim tanpa Imam Bukhari 98 hadits.
MAKNA KOSA KATA HADITS
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّه - (tidaklah
berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah), yaitu masjid. Sedangkan
madrasah dan tempat-tempat lain yang mendapatkan keutamaan ini, juga dengan dasar
hadits yang diriwayatkan Muslim dengan lafadz.
لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ
الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ
وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah duduk suatu kaum
berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat mengelilinginya, rahmat
menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allah memujinya di
hadapan makhluk yang berada di sisinya. [Riwayat Muslim, no. 6795 dan Ahmad]
السَّكِينَة - , ketenangan.
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَة - , diselimuti
rahmat Allah.
وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَة - ,
dikelilingi malaikat rahmah.
وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ
فِيمَنْ عِنْدَه - , Allah memuji dan
memberikan pahala di hadapan para malaikatNya.
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ
لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُه - , siapa yang kurang amalannya tidak akan mencapai
martabat orang yang beramal sempurna, walaupun memiliki nasab ulama.
FAIDAH HADITS
Pertama : Arti Penting Majelis Ilmu
Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama rabbani.
Bahkan mengadakan majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan
oleh seorang ‘alim. Karena hal itu merupakan martabat tertinggi para ulama
rabbani, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
مَاكَانَ لِبَشَرٍ أَن
يُؤْتِيَهُ اللهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ
كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللهِ وَلَكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا
كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Tidak wajar bagi seseorang
manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia
berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan
penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya. [Ali Imran : 79].
Hal inipun dilakukan Rasulullah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menganjurkan kita untuk menghadiri majelis ilmu. Dengan sabdanya,
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ
الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
Jika kalian melewati taman
syurga maka berhentilah. Mereka bertanya,”Apakah taman syurga itu?” Beliau
menjawab,”Halaqoh dzikir (majlis Ilmu). [Riwayat At Tirmidzi dan dishahihkan
Syeikh Salim bin Ied Al Hilali dalam Shahih Kitabul Adzkar 4/4].
Demikian juga para salafus shalih sangat bersemangat mengadakan dan
menghadirinya. Oleh karena itu kita dapatkan riwayat tentang majelis ilmu
mereka. Di antaranya majelis Abdillah bin Mas’ud di Kufah, Abu Hurairah di
Madinah, Imam Malik di masjid Nabawi, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad di Baghdad, Imam Bukhari dan yang lainnya.
Kedua : Faidah dan Keutamaan Majelis Ilmu.
Di antara faidah majelis ilmu ialah :
• Mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan mencontoh jalan hidup para salaf shalih.
• Mendapatkan ketenangan.
• Mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala
• Dipuji Allah di hadapan para malaikat.
• Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul.
• Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.
Ketiga : Adab Majelis Ilmu.
Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari
majelis ilmu ialah :
• Ikhlas.
Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya
karena Allah semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain.
Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena
ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut.
Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,“Saya tidak merasa susah dalam
meluruskan sesuatu melebihi niat.”[2]
•Bersemangat Menghadiri Majelis Ilmu.
Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa
mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup
dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya
kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki
hanya sedikit sekali.
Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul
Abbas Tsa’lab, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi,“Saya
tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa
selama lima puluh tahun”.
Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar
dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan
kesungguhan dan kesabaran.
Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal,“Ilmu adalah karunia yang
diberikan Allah kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang
mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah
orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ”.
Demikian juga Imam Malik, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari
rumahnya bermain,“Alhamdulillah, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti
harta waris”.
Abul Hasan Al Karkhi berkata,“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at
walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya”.
Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai
akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.
• Bersegera Datang Ke Majelis Ilmu Dan Tidak Terlambat, Bahkan Harus
Mendahuluinya Dari Selainnya.
Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan
mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi ketika ditanya,“Dari
mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?”, ia menjawab,“Tidak bergantung kepada
orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai,
serta bersegera seperti bersegeranya elang”.[3]
• Mencari Dan Berusaha Mendapatkan Pelajaran Yang Ada Di Majelis Ilmu Yang
Tidak Dapat Dihadirinya.
Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan
tertentu. Seperti : sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami
pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah
ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena
sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat
mengganggu yang lainnya.
• Mencatat Fidah-Faidah Yang Didapatkan Dari Kitab.
Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus.
Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam
mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena
itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak
memasukkannya ke perpustakaan. Kecuali setelah melihat kitab secara umum.
Caranya dengan mengenal penulis. Pokok bahasan yang terkandung dalam kitab
dengan melihat daftar isi dan membuku-buka sesuai dengan kecukupan waktu
sebagian pokok bahasan kitab.
• Tenang Dan Tidak Sibuk Sendiri Dalam Majelis Ilmu.
Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi
menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata,“Tidak ada seorangpun
yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak
ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan
mereka berada dalam shalat” [4]. Dan dalam riwayat yang lain,“Jika beliau
melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan
sandalnya dan keluar”.[5]
• Tidak Boleh Berputus Asa.
Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang
lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul
dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk disana. Tentunya
hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan
setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena
dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan
baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut
ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh
Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu
saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan
pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti
dan minum the hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”.
Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah problem tersebut”.
Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan
yang belum jelas baginya.
• Jangan Memotong Pembicaraan Guru Atau Penceramah.
Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong
pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek.
Rasulullah n mengajarkan kepada kita dengan sabdanya.
ليس منا من لم يجل كبيرنا و
يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه
Tidak termasuk golongan
kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda
serta yang tidak mengerti hak ulama. [Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Al Jami’].
Imam Bukhari menulis di Shahihnya, bab Orang yang ditanya satu ilmu dalam
keadaan sibuk berbicara, hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan
hadits.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ
الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ
أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ
إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ
السَّاعَةَ
Dari Abu Hurairah, beliau
berkata,“Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di majelis
menasihati kaum, datanglah seorang A’rabi dan bertanya,”Kapan hari kiamat?”
(Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai. Lalu (beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam) bertanya,“Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari
kiamat?” Dia menjawab,”Saya, wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Lalu beliau berkata, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”.
Dia bertanya lagi, “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab, “Jika satu
perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”. [Riwayat
Bukhari].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini berpaling dan tidak
memperhatikan penanya untuk mendidiknya.
• Beradab Dalam Bertanya.
Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
firmanNya,
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ
إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl : 43].
Demikian pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan, bahwa obat
kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabdanya,
أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ
يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ
Seandainya mereka bertanya!
Sesungguhnya obatnya kebodohan adalah bertanya. [Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah,
Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah
Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174].
Imam Ibnul Qayim berkata,”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam
bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak
baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya
tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang
tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia
ketahui.”[6]
Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi memberikan pernyataan,”Sepatutnyalah rasa
malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang
dialaminya.”[7]
Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam
bertanya, diantaranya:
1. Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji.
Hal ini dijadikan syarat pertanyaan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
firmanNya.
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak
mengetahui. [An Nahl : 43].
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan syarat pertanyaan adalah
tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu.
Tetapi seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya
tentang perkara tersebut, untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di
majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang mashur.
2. Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat
menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang dalam firmanNya,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu. Allah mema'afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun. [Al Maidah : 101].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
إِنَّ أَعْظَمَ
الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ
أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
Seorang Muslim yang paling
besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu
diharamkan karena pertanyaannya. [Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad].
Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu
kejadian sebelum terjadi. Rabi’ bin Khaitsam berkata,“Wahai Abdullah, apa yang
Allah berikan kepadamu dalam kitabnya dari ilmu maka syukurilah, dan yang Allah
tidak berikan kepadmu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan
mengada-ada. Karena Allah l berfirman kepada NabiNya,
Katakanlah (hai Muhammad),"Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas
dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur'an
ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu
akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur'an setelah beberapa waktu lagi. [Shad
: 86-88].[8]
3. Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan
pendapatnya.
Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Faqih Wal Mutafaqih 2/148
,“Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah
jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.
4. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas.
Berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى
هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قُلْنَا وَمَا هَمَمْتَ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ
وَأَدَعَهُ
Saya shalat bersama Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu
kejelekan? Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud,“Apa yang engkau niatkan?” Beliau
menjawab, “Saya ingin duduk dan meninggalkannya”. [Riwayat Bukhari dan Muslim].
5. Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannnya, untuk
menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain.
• Mengambil Akhlak Dan Budi Pekerti Gurunya.
Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata.
Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan
mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri
majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim.
Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia.
Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu
orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil
faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau.[9]
Abu Bakar Al Muthaawi’i berkata,“Saya menghadiri majelis Abu Abdillah – beliau
sedang mengimla’ musnad kepada anak-anaknya- duabelas tahun. Dan saya tidak
menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”. [10]
Demikianlah perihal kehadiran kita dalam majelis ilmu. Hendaklah bukan
semata-mata mengambil faidah ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah
yang ada.
Demikian sebagian faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Mudah-mudahan
bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai nama asli beliau. Pendapat terkuat,
beliau bernama Abdurrahman bin Shahr
[2]. Lihat Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, hal.68.
[3]. Lihat Rihlah Fi Thalabil Hadits, hal.196.
[4]. Tadzkiratul Hufadz 1/331
[5]. Siyar A’lam Nubala 4/1470.
[6]. Miftah Daris Sa’adah 1/169.
[7]. Al Faqiih Wal Mutafaaqih 1/143.
[8]. Jami’ Bayanil Filmi Wa Fadhlihi 2/136.
[9]. Siyar A’lam Nubala 11/316.
[10]. Ibid. 11/316
(almanhaj.or.id)
semoga bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar